21 Juli, 2007 00:37

on Leave a Comment

Rumah Sahabat Anak

Anak adalah antusiasme para orangtua, bahkan sejak masa konsepsi. Orangtua akan menghitung hari demi hari pertumbuhan janinnya, bulan demi bulan mencatat berat badan selama kehamilan, juga kondisi kesehatan ibu sepanjang sembilan bulan 10 hari masa pertapaannya di dalam kandungan sang ibunda.

Anak adalah laboratorium sekaligus putra mahkota bagi orangtuanya. Terhadap kehadirannyalah segala pertimbangan orang dewasa diletakkan. Misalnya jangan sampai ada keputusan praktis yang menyakiti anak, jangan sampai ada tindakan yang dampaknya merugikan kepentingan sang anak.

Maka kehadiran anak juga membangkitkan semangat orang dewasa melakukan perubahan-perubahan terhadap lingkungan hidupnya menjadi sedemikian rupa sehingga bersahabat bagi sang anak. Misalnya mengurangi jumlah barang hiasan atau pajangan rumah yang tidak fungsional dan menyisakan yang memang benar-benar bersejarah. Juga melakukan penataan ulang terhadap perabot yang ada, dengan tujuan yang sama, yaitu memberi ruang lebih lega pada anak agar mereka lebih leluasa bergerak. Adalah juga penting menyingkirkan barang-barang yang sekiranya bisa menyakiti atau melukai anak.

Pasangan muda Vivi-Widoroso misalnya, ketika membeli rumah tipe 27 dua kapling di daerah Warung Bingung, Jakarta Selatan, langsung menggabungkan dua ruang utamanya sehingga menjadi cukup luas. Mereka sengaja melengkapinya dengan perabotan yang minimalis berupa sofa dan rak mainan serta rak buku anak yang ditata menempel sepanjang tembok. Selebihnya dibiarkan kosong sehingga anak mereka, Adi Pratama (4), bisa belajar merangkak dengan bebas dan ketika agak besar sedikit si kecil bisa mengendarai sepeda roda tiganya di dalam ruangan tersebut juga. Vivi tak menggubris komentar orang bahwa ia tak mempunyai selera interior yang cukup baik. Saya hanya ingin rumah kami benar-benar bersahabat bagi Tama, kata Vivi. Adi Pratama.

Apa boleh buat. Konsekuensi dari sikap yang mengutamakan kepentingan tumbuh-kembang anak memang bisa bertentangan dengan nilai estetika. Ketika suatu ruangan telah sengaja diperuntukkan bagi sang anak, maka tak perlulah lagi merasa gusar apabila temboknya berubah menjadi semacam kanvas besar bagi lukisan mural beraliran dadaisme. Atau menjadi bingkai dari segala macam poster dan stiker yang akan ditempel oleh sang anak. Karena ruang tersebut selayaknya menjadi ruang belajar bagi mereka. Belajar melatih keterampilan tangan, belajar mengekspresikan imajinasi, juga belajar memberikan apresiasi terhadap hasil karya orang lain serta belajar merespons secara layak terhadap apresiasi yang diberikan kepada mereka.

Rumah yang bersahabat bagi anak tidak perlu mempertimbangkan adanya kolam, kendati kecil sekalipun. Karena pada prinsipnya rumah untuk anak selayaknya adalah rumah di mana anak bisa tinggal dan bergerak dengan bebas secara aman kendati ia sedang bermain tanpa pengawasan orang dewasa.

Pengalaman buruk sebuah keluarga yang tinggal di bilangan Sulfat di Malang yang dua tahun lalu kehilangan anaknya yang baru berumur tiga tahun lantaran sang anak masuk ke dalam kolam ikan kecil berukuran sekitar 1,5 x 1 meter persegi dengan kedalaman tak lebih dari setengah meter, tak perlu terulang di manapun.

Sang anak bermain-main dengan sang kakak, nyemplung ke dalam kolam di sebelah teras depan, dan terpeleset. Sang kakak, yang juga belum genap lima tahun, tentu tak menyadari bahwa kecelakaan tersebut bisa merenggut nyawa sang adik. Bahkan para tetangga, merasa tak habis pikir betapa kolam kecil tersebut ternyata bisa sangat berbahaya bagi anak-anak. Tentu tak terkatakan betapa penyesalan kedua orangtuanya seolah tak pernah bisa tertebus.

*nusya kuswatin (kompas)

0 komentar :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.