Kredit Pemilikan Rumah
Menjelang akhir masa jabatan Dirut BTN mempublikasikan wacana peurunan bunga kredit 1 persen dan menjadi judul sebuah artikel yang menarik untuk dikaji ditinjau dari aspek marketing, berdasarkan perkembangan kondisi makro yang kondusif di awal bulan ini inflasi year on year dibawah 10%, apresiasi rupiah terhadap dolar mencapai 8.780 per 1 USD mendorong Bank Indonesia menurunkan BI rate secara bertahap untuk tahap awal ini 25 basisi poin, meskipun langkah penurunan suku bunga relatif belum signifikan, kebijakan ini memberi stimulus kepada bank untuk menurunkan tingkat bunganya. Salah satunya adalah wacana BTN menurunkan bunga 1 persen sangat tepat dilihat dari kajian makro untuk mengakomodir pasar yang masih berharap kedepan kondisi properti stabil, karena bagaimanapun properti masih menjadi salah satu gerbang pengembngan sektor riel.
Strategi pricing dengan menurunkan harga untuk strata masyarakat menengah kebawah sangat populis karena pertimbangan harga biasanya menjadi alasan utama selain lokasi yang strategis dalam memilih produk KPR, namun implisit patut dicermati kecenderungan nasabah bertransaksi KPR dengan BTN, setelah punya rumah biasanya menggunakan fasilitas bukan BTN padahal nasabah memperoleh rumah pertama kali melalui pembiayaan KPR-BTN terutama yang bersubsidi, demikian pendapat dari beberapa narasumber pemerhati BTN. Apakah hal tersebut realitas di lapangan, harus ada penelitian lebih dalam menyangkut kepuasan nasabah bertransaksi dan motiv transaksi dengan atau melalui Bank BTN.
Agak lebih dalam menanggapi wacana penurunan tingkat bunga KPR-BTN yang akan dikeluarkan oleh Bank BTN, sejalan dengan itu sangat berharga statemen Ketua Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Indonesia (APRSI), yang menyatakan bahwa penurunan bunga satu persen tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat penyerapan kepemilikan rumah. Sebab penurunan suku bunga bukanlah faktor utama. Menurut beliau sebagai pengembang lebih memilih bank yang prosesnya lebih cepat dengan suku bunga lebih tinggi daripada bank dengan suku bunga rendah tapi prosesnya lama, lagi pula suku bunga BTN relatif lebih tinggi kecuali KPR bersubsidi BTN.
Yang perlu digaris bawahi adalah dalam penentuan harga (pricing startegy) bukan hanya masalah harga yang turun, namun ada faktor lain yang harus dipertimbangkan oleh manajemen, antara lain tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan seperti yang diungkapkan oleh Ketua APERSI tadi, kondisi internal perusahaan dan kondisi makro tentunya.
Dari kondisi demikian, kita bisa melakukan studi komparasi kepada perusahaan-perusahaan besar yang melakukan mark down terhadap beberapa merk mereka yang tergolong kuat, meskipun output produknya berbeda karakteristik dengan bank. Ada Pantene dan Vick Vaporub dari P & G contohnya, kemudian diikuti Shampo Lifebuoy dari Unilever. Yang menarik, strategi penurunan harga itu dikomunikasikan kepada konsumen melalui iklan TV secara gencar dan BTN mengkomunikasikannya melalui statemen manajemen yang dipublikasikan melalui media masa. Ada dua sisi yang agak berbeda perusahaan selain BTN yang menurunkan harga, maka akan timbul pertanyaan, apakah hal tersebut tidak menurunkan pencitraan merk (Brand Image) yang bersangkutan ?, bagi BTN mungkin tidak sampai demikian karena pencitraan brand BTN selama ini tetap pada strata midle to lower level.
Bila kita telaah, Marlboro pernah melakukan penurunan harga. Hal tersebut dilakukan karena diserang kemasan private label di Amerika Serikat, Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah, bukan karena khawatir pangsa pasarnya berpindah ke private label lain, melainkan agar brand image Marlboro yang sangat kuat tidak berpindah ke merk lain. Bagi Marlboro bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokokyang paling banyak dikonsumsi bila dibiarkan lama-lama bisa luntur.
What you pay and what you get or value for money bisa jadi melunturkan brand loyalty dan kekuatan merk, keputusan strategis eksekutif marlboro pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut baik profit, efektivitas maupun citra merknya.
Sejak tahun 1980-an terjadi shift to value tatkala produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi berkualitas. Keberhasilan produk-produk Jepang tersebut mengubah persepsi orang bahwa harga murah pasti barang jelek, saat itu tidak lagi. atau belum tentu harga murah barangnya jelek Air Asia memperkenalkan tarif murah untuk bepergian melalui pesawat udara, Wall Mart yang sebelumnya meragukan kini dipersepsikan sebagian besar konsumen USA memiliki comparable quality fresh foods dan a good store brands.
Hal demikian memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan, persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, para pengelola supermarket sudah mafhum bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk berkualitas lebih tinggi, hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi produk yang berkualitas lebih tinggi. Konsepsi loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga, teori ini dipakai sejak dulu, namun apakah tetap berlaku apabila di pasar muncul kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau ? hal ini mungkin yang menjadi parameter pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen makin realistis dan makin sadar akan value for money.
Demikian pula BTN, mau tidak mau harus realistis tak mungkin hanya berlindung dengan nama Pemerintah Republik Indonesia, profesionalisme dan peduli kepada target market yang menengah kebawah harus dibangun sinergi dan dapat diaplikasikan, gagasan penurunan tingkat bunga selayaknya dipandang sebagai bentuk kepedulian kepada share holdersnya yang masih digelayuti oleh daya beli yang minimal dan ini perlu dipublikasikan, dengan kata lain sisi sosial perusahaan dikedepankan dengan emphati dan hubungan baik, bank maju karena usaha nasabah maju dan berkembang. Kinerja bank ritel di tahun 2005 berbanding terbalik dengan kondisi bank korporat yang mengalami penurunan kinerja, hal demikian bisa jadi karena bank dan nasabah bersifat dalam bahasa gaul dikatakan lu lu gua gua, bersifat partial dan tidak peduli kepada lingkungan perusahaan.
Gagasan yang cemerlang dan berdimensi jangka panjang dari seorang bankir senior yang segera menuju masa purnabakti, selamat dan sukses semoga berkah Illahi di medan juang yang lain. *Edy, 10-05-2006 (btn)
0 komentar :
Posting Komentar