21 Juli, 2007 01:05

on Leave a Comment

Ragam Properti
Siapkanlah Proyek Sebaik Mungkin

Beberapa tahun terakhir muncul fenomena buruk di beberapa kota besar di Indonesia.
Sejumlah proyek macet di tengah jalan, menyisakan bangkai bangunan yang merusak pemandangan.

Macetnya sebuah proyek dilatarbelakangi oleh banyak faktor, di antaranya proyek tidak dipersiapkan dengan matang, perhitungannya keliru, atau si pengembang kena musibah. Pada faktor eksternal, ada aspek negara terkena krisis ekonomi yang berdampak keras kepada proyek yang dikerjakan para pengembang.

Dari banyak faktor tersebut, hal yang tampak paling dominan ialah proyek tidak dipersiapkan dengan matang, dan tidak dihitung saksama. Kalau kemudian proyek macet, pengembangnya menuai hasil dari kekeliruannya sendiri.

Dalam kaitan persoalan itu, Kompas mewawancarai Subianto Satmaka (51), eksekutif properti yang pernah menangani banyak proyek besar. Ia di antaranya pernah menjadi Kepala Biro Konstruksi di Bumi Serpong Damai (1989-1992), Direktur Proyek Lippo Karawaci sekaligus asisten pemimpin proyek termasyhur dari Filipina, Tong Padila (1992-1997). Ia juga pernah menjadi Direktur Utama Kota Tiga Raksa (1997-1999), dan menjadi eksekutif sejumlah proyek pengembang Suganda.

Subianto menyatakan, sebuah proyek, besar atau kecil, harus dihitung sangat matang, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Kalau dari perhitungan yang didasarkan pada survei lapangan, menyatakan proyek itu tidak layak, maka proyek tersebut harus dimatikan. Jika pengembang ngotot melanjutkan proyek, berarti ia harus siap dengan segala risiko, yang juga bisa dihitung.

Menurut Subianto, faktor menentukan dalam pekerjaan menghitung proyek adalah ketenangan, kecermatan, tidak emosional, kreatif, dan berpikir jauh ke depan. Pelaksana proyek harus menjalankan proyek dengan serius..

Pertama duduk dengan pejabat pemasaran, bahas ukuran rumah atau apartemen yang paling diterima pasar. Lakukan survei yang berkaitan dengan proyek yang hendak dikerjakan. Mutlak diketahui daya serap pasar. Kalau menginginkan percepatan penjualan yang ukurannya lebih kecil dan penjualan lebih cepat, time frame-nya lebih pendek.

Kedua, sebut Subianto, hitung proyeksinya. Berapa sih untungnya. Pilih mana yang menguntungkan. Biasanya pilihan dijatuhkan pada laba dan time frame yang lebih cepat.

Ketiga, katanya, kalau kita diberi budget oleh pemilik modal, maka kita harus berjalan dalam koridor budget. "Nilainya bagaimana, rencana anggarannya berapa besar. Lalu dengan perkiraan budget sekian, kita asumsikan spesifikasinya seperti apa. Kita hitung luas tanahnya, KLB (koefisien luas bangunan)-nya, cost untuk konstruksi. Ini belum menyentuh tentang ukuran bangunan dan ruang-ruang dalam bangunan," tuturnya.

Ia kemudian memerinci, kalau kita dapat anggaran Rp 100 miliar, kita harus duduk dengan orang sales, untuk mengetahui berapa harga jual sebuah bangunan per meter? Berapa target konstruksinya per meter persegi? Luas bangunan berapa? "Sebagai catatan, ongkos konstruksi per meter persegi pada hitungan awal masih merupakan asumsi. Lalu ada hitungan untuk biaya pemasaran dan penjualan. Ada pula biaya komisi, promosi, brosur, iklan, pergelaran acara, dan sebagainya," kata Subianto menambahkan.

Hitungan yang matang juga menyangkut konsultan (arsitek, struktur, lanskap, interior, lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, dan lalu lintas para karyawan). Hitungan lain menyangkut anggaran untuk perizinan, sertifikat tanah, bunga utang selama masa konstruksi, survei pasar, dan sebagainya. Dengan aneka perhitungan ini, total anggaran menjadi berapa? Berapa layaknya harga jual bangunan?

"Tentang berapa harga jual per meter (baik tanah maupun tanah dan bangunan), juga masih dengan asumsi. Kendati demikian, kita sudah bisa meraba-raba dengan ilmu hitungan, berapa nilai jual paling pas. Ini penting diketahui sebab kalau harganya ketinggian, Anda ditinggalkan pembeli. Kerendahan, Anda rugi, dan ditertawakan orang," ujarnya.

"Action plan"

Pada action plan, kita membuat gambar dan hitung-hitungan yang sangat jelas. Kita tidak bercanda dengan masalah ini sebab jika keliru hitung, semuanya berantakan. Konkretnya, salah hitung pada landed house, masih bisa diubah, meski tetap saja rugi. Namun, kalau salah hitung pada pembangunan menara perkantoran, hotel, apartemen, dan gedung-gedung tinggi lainnya, akibatnya fatal. Kalau Anda membangun apartemen 50 lantai, dan hanya laku tiga lantai, maka Anda menangis sampai habis air mata selama tujuh hari tujuh malam pun menara apartemen itu tetap harus dibangun sampai tuntas.

Kalau ini semua sudah dikerjakan, maka oke, kita bisa memulai proyek. Kita prediksi marketing, kita rancang brosur yang keren dan sebagainya. Setelah ini berakhir, kita mulai melakukan tes pasar, bakal laku atau tidak, nih? Kita, misalnya, coba dengan gambar yang ada, lalu kita menyodorkannya ke pasar, kira-kira mendapat sambutan hangat publik atau tidak? Bagaimana cara merebut hati pasar?

Mengapa banyak proyek berkualitas buruk, atau diomongin banyak kalangan sebagai proyek "gagal"? Subianto menjawab, itu terjadi karena upaya menyiapkan suatu produk terlalu cepat, atau tidak matang. Bisa juga karena pengembangnya tidak survei pasar secara benar, tidak berdiskusi panjang, sebelum memulai proyek.

Kemungkinan lain, investor ingin uangnya cepat balik. Investor tidak ingin uangnya "tidur" terlampau lama, sementara ia sendiri mempunyai persoalan keuangan. Ia harus bayar bunga utang, harga tanah, dan membayar gaji banyak pegawai.

Kesalahan juga bisa terjadi, tutur Subianto, kalau harga jual terlampau rendah, padahal ongkos konstruksi amat tinggi. Tingginya ongkos karena terjadi pembengkakan anggaran. Biasanya, setelah gambar detail muncul, bahan ini dan itu ternyata amat mahal. Jadilah, antara harga jual dan biaya produksi tidak ketemu.

Dalam situasi seperti ini, investor yang tidak kokoh integritasnya menurunkan kualitas bangunan. Kepada publik disampaikan bahwa bangunan akan menggunakan kayu jati, ternyata diubah menjadi kayu kamper. Investor lain bisa sampai hati mengurangi luas bangunan. Ini jelas kejahatan dan merugikan konsumen.

"Tetapi, konsumen Indonesia banyak yang cuek saja. Mereka gampang memaafkan meski dirinya kena tipu," kata Subianto.

Aspek lain yang menjadi faktor kegagalan adalah proyek dijual terlampau mahal sehingga susah laku. "Menurut saya, itu terjadi karena hitungan tidak matang," ujarnya.

Dalam konteks ini, Subianto mengatakan, para profesional di bidang properti harus berani menunjukkan keprofesionalan dan integritasnya. Kalau jelek, harus menyatakan jelek. Bagus dikatakan bagus. "Profesional harus berani ngomong. Kalau investor meminta agar dilakukan penurunan mutu bangunan atau pengurangan luasan ruang, profesional harus berani menyatakan tidak. Pokoknya, tunjukkan integritas dan sikap konkret Anda," tuturnya.

Prinsipnya, kita melakukan sesuatu yang benar menurut ukuran-ukuran profesional. Jangan sampai hendak nyenengin bos, akhirnya malah jadi rusak segalanya.

*Abun Sanda (Kompas)

0 komentar :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.