20 Juli, 2007 23:39

on Leave a Comment

Tahun 2004
Bisnis Properti Sama seperti
Sebelum Krisis Ekonomi

MEMASUKI tahun 2004, yang juga dijuluki sebagai "Tahun Monyet", sebagian pelaku usaha-termasuk mereka yang bergerak di sektor properti-umumnya harap-harap cemas karena tahun ini merupakan tahun pelaksanaan pemilihan umum. Perspektif para pengusaha pada umumnya tidak terlalu peduli pada parpol atau orang yang akan memimpin negeri ini. Yang penting kegiatan bisnis bisa berjalan normal dan situasi keamanan bisa terpelihara dengan baik.

Jika pemilu berjalan lancar dan tidak terjadi kerusuhan, para pelaku usaha akan menjalankan kegiatan bisnis secara normal, bahkan tidak mustahil mereka akan melakukan sejumlah ekspansi. Ini dilakukan karena jika peristiwa politik tahun ini berjalan lancar, akan memberikan implikasi positif bagi dunia usaha.

Sebaliknya jika pelaksanaan pemilu berlangsung rusuh, niscaya para pelaku usaha akan menjalankan skenario buruk (worse scenario). Akan tetapi, kalau kerusuhan tidak seburuk seperti tahun 1998, para pelaku usaha di sektor properti masih bisa memberikan toleransi. Artinya, mereka tidak akan sampai hengkang ke luar negeri dan masih akan tetap menjalankan usahanya di Indonesia, apalagi karakteristik usaha di sektor properti bersifat jangka panjang.

Jika kita kilas balik ke belakang sebelum badai krisis moneter menerjang Indonesia pertengahan tahun 1997, sektor properti mengalami booming luar biasa sama seperti di Thailand. Bedanya, proyek properti di Thailand bisa segera terbangun, sedangkan pengembang di Indonesia cenderung untuk menunda pembangunan proyek properti agar bisa mendapatkan keuntungan besar dari tanah yang mereka bebaskan.

Ketika itu yang menonjol di Indonesia memang kegiatan pembelian dan pembebasan lahan meskipun juga ada kegiatan pembangunan proyek perumahan, pusat perbelanjaan, dan pembangunan gudang-gudang untuk kawasan industri.

Salah satu proyek pembebasan lahan skala besar terdapat di daerah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seluas 30.000 hektar. Namun, proyek itu sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya karena dana yang dipakai untuk membebaskan lahan berasal dari kredit perbankan.

Ketika diterpa badai krisis moneter, proyek Jonggol macet sampai akhirnya masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebelum tahun 1997, Badan Pertanahan Nasional memang mengeluarkan izin lokasi secara jorjoran, khususnya untuk penguasaan tanah di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Sementara itu, perbankan juga agresif memberikan kredit untuk pembebasan lahan.

>small 2small 0<>

Pada pertengahan tahun 1997, Bank Indonesia memang akhirnya mengeluarkan larangan bagi perbankan agar tidak memberikan kredit untuk pembebasan dan pematangan lahan karena risikonya besar. Namun, ketika itu dana perbankan yang dikucurkan ke sektor properti sudah terlanjur besar jumlahnya, yakni sekitar Rp 70 triliun. Jadi, ketika datang krisis moneter, perbankan nasional banyak yang mengalami kesulitan likuiditas sebab dana jangka pendek milik masyarakat di bank digunakan untuk sektor properti yang bersifat jangka panjang.

Di awal krisis moneter, kegiatan usaha yang lebih dulu kolaps adalah sektor properti, sementara penyebab bangkrutnya dunia perbankan antara lain juga dituduhkan kepada para pelaku usaha di sektor ini. Ketika itu banyak pengembang yang kesulitan pendanaan karena kredit dari perbankan berhenti mendadak sehingga proyek-proyek mereka juga berhenti secara tiba-tiba. Pemberhentian karyawan pun terjadi di berbagai perusahaan pengembang.

Ketika proyek-proyek properti besar masih banyak yang dikuasai BPPN, tidak banyak kegiatan di sektor riil setidaknya sampai tahun 2001. Baru setelah BPPN mengobral aset properti dengan harga murah, kegiatan sektor riil-khususnya sektor properti-berjalan kembali.

Bagi pemerintah/BPPN, menjual aset-aset properti memang dilematik. Di satu sisi, pemerintah menghendaki tingkat pengembalian uang (recovery rate) yang tinggi dari aset disposal itu. Namun, di sisi lain pengoptimalan penerimaan dari penjualan aset agak sulit dilakukan karena kepemilikan aset properti lebih melekat pada pemilik lama ketimbang pembeli atau investor baru, baik secara psikologis maupun legal.

Meskipun BPPN pernah melarang pemilik lama untuk membeli aset properti, dalam praktiknya lembaga yang dibentuk tahun 1998 dan akan berakhir pada bulan Februari tahun ini mengalami kesulitan dalam menjual aset properti skala besar.

>small 2small 0<, aset properti yang memiliki prospek bagus dijual kembali kepada pemilik lama. Namun, setelah itu proyek-proyek properti berjalan kembali dan bisa menyerap tenaga kerja. Dari segi lapangan kerja, sektor properti termasuk sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja karena industri pendukungnya banyak, seperti di antaranya industri semen, batu bata/batako, kayu, besi, dan sebagainya.

Sekarang pola bisnis dan kegiatan usaha di sektor properti mengalami perubahan luar biasa. Sebelumnya banyak proyek properti yang didanai kredit perbankan, mulai dari kegiatan pembebasan dan pematangan lahan sampai kegiatan konstruksi. Namun, sekarang kegiatan pembebasan dan pembangunan proyek properti dibiayai sepenuhnya oleh pengembang sebagai pemasok dan masyarakat sebagai konsumen.

Sekarang perbankan tidak mau lagi memberikan kredit untuk kegiatan pembebasan lahan maupun proyek konstruksi properti. Perbankan hanya mau mendanai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan kepada konsumen. Namun demikian, sekarang ada juga beberapa bank yang mulai nekad memberikan Kredit Pemilikan Tanah (KPT) kepada masyarakat yang hendak membeli kapling tanah dari pengembang.

>small 2small 0<>

Pengembang besar yang sudah malang melintang di dunia properti, seperti Ciputra, kini telah menyadari dan mengakui kekeliruan bisnisnya di masa lampau, tetapi hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk menekuni dan konsisten di bisnis properti. Bahkan, sekarang Grup Ciputra banyak membuka proyek perumahan baru di berbagai kota di Tanah Air. Misalnya, di Manado (Sulawesi Utara), Surabaya dan Sidoarjo (Jawa Timur), Bali.

Kemudian Grup Ciputra juga pembangunan pusat perbelanjaan di Pekanbaru dan Medan, Sumatera Utara. Tidak itu saja, Pak Ci, demikian panggilan Ciputra, juga memiliki proyek properti di Vietnam. Karakteristik proyek properti yang dibangun Grup Ciputra, selain dikembangkan pada lahan skala besar dengan konsep dan perencanaan yang matang, juga diupayakan agar bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat luas.

Dalam perbincangaan dengan Kompas di Surabaya beberapa waktu lalu, Pak Ci mengatakan, kondisi bisnis properti di tahun 2004 dan 2005 akan sama dengan keadaan sebelum krisis ekonomi tahun 1997. "Puncak bisnis properti diperkirakan akan terjadi tahun 2007 dan setelah itu menurun lagi. Itu adalah siklus bisnis properti tujuh tahunan," katanya.

Namun, Ciputra melanjutkan, kalau Pemilihan Presiden tahun 2004 berlangsung dengan wajar kemungkinan puncak booming properti akan lebih cepat. Sebaliknya, kalau ada kerusuhan akan tertunda lagi. "Itu yang menarik. Properti tergantung pada ekonomi makro sementara ekonomi tergantung pada kondisi politik. Itu lingkarannya. Bagi pengusaha, siapa saja yang menjadi pemimpin tidak menjadi masalah. Yang penting bagi pengusaha, apa yang bisa lakukan, lakukan saja. Anda bergerak di bidang properti, lakukan saja agar bisa menciptakan lapangan kerja," ungkap Ciputra.

SEKARANG jumlah tenaga kerja yang menganggur sekitar 30 juta orang. Oleh karena itu, kalau pertumbuhan ekonomi hanya 3,5 persen sampai 4 persen per tahun, tidak bisa menciptakan lapangan kerja baru. Menurut Pak Ci, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekonomi enam-tujuh persen per tahun. "Baru kita bisa ciptakan lapangan kerja baru. Kalau tidak, kita hanya akan berlari di tempat," katanya menambahkan.

Pihaknya, ujar Ciputra, sangat berkepentingan dengan soal lapangan kerja karena kalau ini tidak terpecahkan akan meningkatkan angka kejahatan. "Yang paling gawat adalah lapangan kerja. Kalau pengangguran makin tinggi, keamanan akan terganggu," ujarnya.

Dia mengingatkan untuk tidak terlalu banyak berharap terhadap investor asing selama isu terorisme masih menjadi persoalan bagi Indonesia. Investor asing tidak mau datang ke Indonesia karena aksi terorisme dampaknya luar biasa. Oleh karena itu, faktor keamanan menjadi sangat penting di samping adanya jaminan hukum.

Meskipun ada insentif dari pemerintah, ujar Ciputra, kalau keamanan tidak terjamin, investor asing tidak akan datang karena menyangkut nyawa manusia. Kalau jaminan hukum, berkaitan dengan fairness lembaga pengadilan.

Kita tidak menginginkan kerusuhan sosial seperti tahun 1998 terjadi kembali, namun juga tidak bisa mengesampingkan kemungkinan terjadinya amuk massa akibat membengkaknya angka pengangguran di Tanah Air. (TJAHJA GUNAWAN)

0 komentar :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.