23 Juli, 2007 02:49

on Leave a Comment

Modern Tropic & Rumah Minimalis

Tropikal Modern dan Minimalis Makin Diminati

Apa yang perlu dilakukan untuk keluar dari persoalan DKI Jakarta yang pikuk, macet, dan polusif? Pertanyaan ini suka mengemuka dalam percakapan warga Ibu Kota yang lelah melihat kotanya makin ruwet.

Warga yang kaya raya membeli rumah 3.000 sampai 8.000 meter di pusat kota, menanam ratusan pohon besar kecil, membuat kolam renang, air mancur, dan desain rumah atraktif. Ada pula yang ingin lebih praktis dan menjaga privacy dengan membeli apartemen papan atas seharga satu juta dollar AS (Rp 9,2 miliar) per unit, membeli rumah bandar di kawasan (masih) hijau, dan sebagainya, wah.

Adapun warga kelas menengah ke atas yang hendak menikmati kesenyapan kota cukup dengan membeli rumah di tepi Ibu Kota, dengan harga Rp 1,5 miliar sampai Rp 2,5 miliar per unit. Luas tanah, tak kecil juga, mencapai 1.500 meter. Dengan areal sebesar itu, mereka bisa membangun kolam renang ukuran kecil, kolam ikan koi, menanam setidak-tidaknya 30 pohon besar, dan puluhan tanaman hias.

Hal pokok yang hendak diraih, begitu tiba di rumah, mereka dapat melepas lelah sepenuhnya. Pagi hari berolahraga ringan, duduk rileks sambil baca koran di taman rindang di tepi kolam renang, mendengar kicau burung, mandi, lalu berangkat ke kantor. Pulang ke rumah, musik masih dapat dinikmati, tentu juga bercengkerama dengan keluarga dalam suasana yang nyaman.

Gaya rumah yang kini sangat disukai warga adalah rumah bergaya tropikal modern, minimalis atau gabungan antara minimalis dan tropikal modern. Yang disebut terakhir kini lebih banyak disukai karena warga tidak perlu terlalu ekstrem condong ke tropikal dan ke gaya minimalis. Mereka bisa menggabungkan dua gaya rumah tersebut dalam satu kesatuan yang utuh.

Harry P, praktisi hukum di Jakarta, salah seorang yang memilih rumah dengan gabungan gaya tropikal modern dan minimalis itu. Membeli rumah di perumahan yang menekankan lingkungan di pinggir DKI Jakarta, Harry menginginkan suasana nyaman ketika berada di rumah. Ia ingin rileks sepenuhnya setelah seharian bekerja di kawasan pikuk Jakarta.

Kolumnis dan pengajar di beberapa perguruan tinggi ini menyatakan tidak memilih minimalis murni karena ia tidak ingin rumahnya tampak terlampau "bersih". Harry tidak ingin pula jendela terlampau lurus rata yang membuat matahari sepenuh-penuhnya masuk ke rumahnya.

Sebaliknya, ia juga tidak ingin rumahnya "fanatik" ke tropikal modern murni sebagaimana tren dua tahun terakhir ini. Ia tidak ingin rumahnya lekat dengan bukaan lebar, penuh bahan alam, dan aneka perlindungan jendela dan pintu.

Jalan tengah yang dirasakan lebih baik adalah membangun rumah dengan menggabungkan dua gaya yang sedang tren, yakni minimalis dan tropikal modern. Pilihan ini membuat ia bisa memetik beberapa unsur minimalis dan sejumlah ciri tropikal modern sekaligus.

Jadilah rumahnya mempunyai jendela dan pintu dengan bukaan cukup besar sehingga angin segar selalu leluasa menyelusup ke rumahnya. Beberapa jendela dan pintunya ia beri "perlindungan" agar air hujan tidak ikut menyerbu masuk rumah. Ia menggunakan beberapa unsur alam, seperti kayu dan batu alam, meski tidak di semua bagian.

Harry pun bisa memetik beberapa ciri minimalis, dengan tidak menggunakan banyak ornamen di rumahnya. Beberapa pintu dan jendela sengaja dibuat rata, lurus dan bersih sehingga matahari di tempat yang dikehendakinya itu leluasa mencurah ke rumah.

Atraktif

Kendati tidak banyak bermain dengan ornamen, rumah Harry tetap tampak atraktif. Ia mengatur interior rumah dengan tertib dan disiplin. Ia, misalnya, tidak menyukai banyak peralatan di ruang keluarga.

Barang yang ia "izinkan" ada di ruang itu hanya televisi, sofa, rak aksesori, piano, beberapa lukisan kecil, juga meja makan di tepi ruang. Ini membuat ruang tengah berukuran lebih kurang 10 x 15 meter itu tampak lapang, bersih, dan enak dipandang.

Harry, juga istrinya Kelly, termasuk tipe orang yang tidak menyukai rumahnya "banyak barang". Mereka berdua sepakat, juga tiga anaknya, untuk tidak membeli banyak barang dan aksesori. Mereka tidak ingin menumpuk banyak barang di rumah, yang mengesankan "memindahkan toko ke dalam rumah". Rumah tidak menarik lagi kalau di mana-mana menumpuk barang, kardus, rak, porselen, foto-foto, lukisan besar-besar, dan sebagainya.

Untuk menghindari "toko pindah ke rumah" itulah, keluarga ini sangat disiplin menjaga peruntukan ruang. Ruang belajar/perpustakaan, misalnya, benar-benar menjadi wilayah belajar dan menyimpan buku di rak-rak buku. Tidak tampak kardus-kardus, pakaian, atau tumpukan barang di sana.

Aspek lain yang diperhatikan adalah warna. Semua ruang dijaga agar tidak berwarna radikal. Tidak terlampau condong ke warna minimalis, tetapi tidak pula ke warna tropikal modern.

Keluarga ini mengambil sari yang baik dari gaya rumah sehingga jadilah rumah itu lebih hangat, atraktif, dan bersih. *Abun Sundan (kompas)

0 komentar :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.